Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekaten, Garebeg dan Drumband HUT TNI, Event Budaya Menarik di Jogja

gamelan kyai nagawilaga yang biasa dibunyikan pada waktu perayaan sekaten

Tumben, titik kumpul kami siang itu di tukang bakso yang mangkal di sisi kiri pintu masuk keben Kraton Yogyakarta. Persisnya di depan Masjid Rotowijayan, bila kurang jeli memang agak susah mengenali masjid ini. Penandanya sebuah gerobak soto dan bakso saling berdampingan, konon si bapak penjual bakso sudah ada di sini sejak tahun 1980-an.

Lucunya kawan saya yang tinggal di daerah belakang Kraton Yogyakarta malah baru tahu lewat sebuah postingan di Instagram. kami harus menunggu, mengantre tempat duduk dan juga si bapak yang sibuk melayani orderan customer yang take away. 

Sayangnya bakso ini tidak buka tiap hari. Bila ingin mampir menikmati kelezatan bakso legend ini, silakan datang di hari Rabu sampai dengan Minggu, tiap hari Senin dan Selasa si bapak libur. Jam bukanya pun hampir mengikuti jam buka Keraton Yogyakarta, dari jam 09.00 sampai jam 15.00. 

“Kalau makan bakso dan kuahnya habis itu artinya bakso itu enak,” demikian kata kawan saya. Saya pun melirik ke arah mangkok kedua kawan saya. Fix, semua kuahnya cling ludes. Dan memang harus saya akui, kalau rasa bakso ini memang masuk di katergori “Gak ada obatnya” versi Nex Carlos seorang food vloger. 

Dan untuk kelezatan itu hanya cukup membayar 14.000 rupiah saja. wah gimana sudah mulai membayangkan semangkuk bakso. Hahhaha. Baiklah. Usai kenyang menyantap semangkok bakso, kami berjalan ke arah Masjid Gedhe Kagungan Dalem. Ada apa di sana? 

Sekaten dan Garebeg Maulud 

deretan penjual nasi gurih kuliner khas saat sekaten

Kira-kira lima menit kami berjalan, kaki kami sudah memasuki area halaman depan Masjid Gedhe Kagungan Dalem. Masjid ini berada di sisi barat Kraton Yogyakarta. saya menyapukan pandangan ke plataran masjid yang ramai. Tidak seperti biasanya, plataran yang biasanya kosong saat itu ada banyak berjejer orang berjualan. 

Ada tenda terpal memanjang yang menaungi para penjual yang kebanyakan makanan bakso, mie ayam, soto.  Namun, ada satu kuliner wajib yang dinanti saat sekaten tiba yaitu sego gurih atau nasi gurih. Iya, nasi gurih adalah nasi yang rasanya gurih. Nasi ini memang dimasak bersama dengan santan dan diberi daun salam sebagai aromatiknya.

Sepintas memang hampir mirip dengan nasi uduk atau nasi liwet Solo ya. Uba rampe menyantap nasi gurih biasanya terdiri dari ayam opor (biasanya dalam bentuk suwiran), sambal goreng krecek, sambel kacang kering (kacangnya sudah ditumbuk), lalapan mentah yang terdiri dari toge, timun dan daun kemangi. 

“Nasi gurihnya, monggo.” Saya melemparkan senyuman ke arah suara itu berasal, pastinya dari deretan penjual nasi gurih. Sayang sekali perut saya masih dikenyangkan dengan semangkuk bakso tadi. dengan jeda makan yang tidak terlalu lama, rasanya tidak sanggup menghabiskan sepiring nasi gurih.

Beberapa hari sebelumnya saya memang sudah punya angan-angan saat sekaten tiba, membeli sego gurih atau endog abang. Definisi endog abang, memang litteraly telur yang berwarna merah. Yaitu telur rebus yang diberi pewarna merah agak tua, kemudian ditusuk dengan bambu dan diberi hiasan kertas. saya sudah menemukannya, penjualnya ada dekat saya berdiri. Nanti saja setelah selesai mendengarkan gamelan saya berencana untuk membeli endog abang.

Gamelan Sekaten Dibunyikan

Gamelan Sekaten, begitu biasa disebut. Dalam upacara miyos Gongso gamelan ini dibawa dari Keraton Yogyakarta menuju ke dua bangsa yang berada di pelataran Masjid Gedhe Kauman. Gamelan itu benama Kyahi Guntur Madu dan Kyahi Nagawilagoa  Gamelan dibunyikan sepanjang hari sejak dari pukul 10 pagi secara bergantian.

Saat kami tiba para abdi dalem sedang beristirahat, rupanya sedang terjadi pergantian shift. Kami menunggu di undak-undakan bangsal. Sebuah becak berhenti tidak jauh dari kami duduk. Seorang laki-laku tua turun dengan pakaian hijau tosca turun dari becak. Di atas kepalanya ada kupluk bulat, rambut palsu menyerupai kuncir rambut seakan terikat di bagian belakang kupluk.

Langkah kakinya pelan seolah ada  diiringi suara gamelan berjalan menuju ke bangsal dan meniti tangga satu persatu. Kawan-kawannya sudah menunggu di dalam, di sudut ruangan bangsal, duduk berkelompok. 

Buk! Tiba-tiba suara dari bangsal seberang mengagetkan kami. Pertanda gamelan akan dibunyikan, kami bergegas menuju ke sana. Untung masih bisa duduk di pinggir pintu, dari sini kami jelas melihat para pemusik dengan tenang mengayunkan tangan-tangannya memukul alat-alat musik yang ada di rangkaian gamelan.

Kira-kira tiga puluh menit mereka memainkan musik. entah langgam apa yang mereka mainkan, saya tdiak terlalu paham. Saya hanya menikmati alunan gamelan sambil sesekali menatap penjual nasi gurih yang standnya ada di depan saya.

Perayaan Garebeg

Sebenanya peristiwa sekaten yang paling saya tunggu adalah garebeg atau grebeg saya biasa menyebutnya. Identik dengan rayahan gunungan. Saya belum pernah nonton garebeg di Kraton, biasanya saya hanya menunggu garebeg di Sewandanan yang merupakan alun-alun Pura Pakualaman.

Satu gunungan dari Kraton Yogyakarta akan dibawa ke Pakualaman untuk dirayah di sana. Dalam arak-arakan gunungan aka nada barisan para bregada, pemimpin pasukan yang menunggangi kuda dan seekor gajah. 

Gajah inilah maskot yang saya tunggu tiap perayaan garebeg tiba. Pemandangan yang cukup langkah melihat sang gajah berjalan dengan bebas di jalanan kota. di kepalanya biasanya diberi hiasan-hiasan. Nggak perlu takut, sang pawing yang berpakaian abdi dalem jelas duduk di atas punggung gajah dengan membawa semacam tongkat untuk mengarahkan langkah sang gajah.

Konon Keraton Yogyakarta benar-benar memelihara gajah, kandangnya berada di kawasan Alun-alun Kidul, bila mampir coba deh sempatkan untuk mencari keberadaan kandang itu. Kalau sekarang sih gajah yang digunakan adalah gajah yang menjadi peliharaan kebun binatang Gembira Loka.

Sayang sekali sejak pandemi perayaan Garebeg belum dibuka untuk umum seperti biasanya. Gunungan tetap dibuat tetapi tidak untuk dirayah dan dibawa keluar Keraton Yogyakarta. Padahal upacara ini biasanya ditunggu oleh orang-orang untuk ngalap berkah. 

Dumband HUT TNI di Titik Nol KM

suasana kemeriahan perayaan HUT TNI di Titik Nok KM Yogyakarta

Kami memang sengaja merencakan untuk menonton sekaten bertepatan dengan acara HUT TNI. Tujuannya tidak lain karena kami ingin melihat drumband hehehe. Jadi menjelang jam 3 sore kami menuju ke titik Nol Km. 

Sudah ada panggung yang dipasang di situ sementara orang-orang belum banyak berkumpul. Jadi kami bisa mulai mencari spot yang tidak jauh dari panggung. Acaranya dimulai molor 30 menit dari jadwal. Baru sekitar jam 14 sore parade mulai bergerak dari titik depan kantor DPRD. 

Ada barisan kendaraan tempur di awal barisan disusul dengan drumband TNI kolaborasi TNI Darat, Laut dan Udara. Sayangnya kali ini tidak ada pertunjukan air show. Meski singkat tapi cukup menghibur masyarakat yang sudah sejak tadi menunggu.

Penutup

Wah,  kami sangat enjoy kegiatan setengah hari ini. Perayaan kebudayaan dan selebrasi hari ulang tahun adalah perpaduan event yang luar biasa sih. kami pun pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia. Tentu saja setelah menerebos kerumunan orang-orang di seputaran titik Nol KM.




klaverstory
klaverstory Hi, I am Dian

Posting Komentar untuk "Sekaten, Garebeg dan Drumband HUT TNI, Event Budaya Menarik di Jogja"