Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stigma Terhadap Kusta dalam Perspektif Agama

live streaming youtube ruang publik KBR tentang kusta

Ada yang tidak tahu penyakit kusta? Atau malah baru  pertama kali mendengarnya? Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyebabkan lesi kulit dan kerusakan syaraf. Kondisi ini mempengaruhi kulit, mata hidung dan saraf perifer. 

Kusta disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Oleh karena itu kusta juga dikenal dengan sebutan lepra. Penyakit yang tergolong kuno ini muncul sejak beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Bukti adanya penyakit kusta ini tercatat dalam kisah nabi dan kitab suci beberapa agama. 

Guna mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai stigma penyakit kusta, Senin pagi tanggal 8 Mei 2023 kemarin saya turut berpartisipasi dalam diskusi online via live YouTube bersama KBR dan NRL Indonesia di channel Berita KBR. Tema yang diambil berjudul “Kusta dalam Persepektif Agama”.

Obrolan santai yang berlangsung hampir satu jam ini menghadirkan dua nara sumber yaitu dr. Muhammad Iqbal Syauqi (dokter umum RS Aisyiyah Malang) dan Pdt (Emeritus) Corinus Leunufna ( pendeta dan OYPMK) dipandu host Rizal Wijaya.

Persepektif Agama Islam terhadap Penyakit Kusta 

Seperti yang sudah disinggung di awal, cerita tentang penyakit kusta sudah tertulis di kitab suci beberapa agama. Dokter Iqbal yang pernah belajar ilmu hadis di Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan ini mengiyakan bahwa kusta sudah ada di jaman Nabi Muhamad bahkan sebelumnya. 

dokter Iqbal narasumber Kusta dalam Perspektif Agama
dr. Muhammad Iqbal Syauqi (dokter umum RS Aisyyah Malang) sebagai narasumber

Dalam hadis ada pernyataan yang menyebut kusta dengan judzam yang berasal dari kata jadzama – yajdzamu yang artinya terpotong atau memotong. Gambaran penyakit kusta pada fase lebih lanjut akan mengalami mutilasi atau terpotong atau disabilitas. Dari kondisi inilah kenapa disebut judzam.

Penyakit kusta pada jaman itu adalah penyakit yang ditakuti. Dalam tradisi Islam ada doa yang diajarkan oleh nabi khusus untuk penyakit kusta. 

“Ya Allah, aku berlindung padamu dari belang, gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk”

Doa yang bermaksud meminta perlindungan Allah agar terhindar dari kusta. Ini menandakan sebagai penyakit kusta sangat ditakuti. 

Nabi bersabda,

“Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta) sebagaimana engkau lari dari singa buas” (HR al-Bukhari)

Di sisi lain, ada sikap nabi yang disorot pada masa itu adalah tidak mendiskriminasikan penderita kusta. Perlakuan itu tampak pada saat makan bersama dengan seorang penderita kusta. 

“Sesungguhnya Rasullah saw memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukkannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya” (HR at-Turmudzi)

Demikian dokter Iqbal mengungkapkan pandangan tentang kusta dalam konteks ilmu hadis.

Perspektif Agama Kristen Terhadap Kusta

Pdt (Emeritus) Corinus menyampaikan Alkitab mencatat terdapat 8 kitab yang menceritakan tentang kusta. Penyebutan kusta tertulis sebanyak 23 kali. Pada waktu itu orang yang menderita kusta selalu dianggap mendapat kutukan dari Tuhan. 

Pendeta Corinus sebagai narasumber Kusta dalam Perspektif Agama
Pendeta (Emiritus) Corinus Leunufna (Pendeta & OYPMK) sebagai narasumber

Penderita kusta dihindari dan ditinggalkan oleh keluarga. Mereka tinggal di gua, makanan mereka diantar setiap hari dengan menggunakan tali. Kemudian tali bekas mengantarkan makanan langsung dibuang seolah-olah tali tersebut menjadi perantara penularan. Reaksi masyarakat pada waktu itu menganggap kusta adalah penyakit yang menakutkan.

Reaksi Yesus terhadap penderita kusta berbeda, seperti yang dikisahkan di Injil Matius 8:1-3 sebagai berikut:

“Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: Tuan, jika Tuan mau. Tuan dapat mentahirkan aku. Lalu Yesus mengulurkan tangannya menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir”. Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.”

Tampak jelas bagaimana Yesus saat berhadapan dengan penderita kusta. Dia tidak menghindar atau meninggalkannya tetapi mengulurkan tangannya dan menyentuh penderita kusta. Perlakuan Yesus adalah bentuk cinta kasih kepada semua orang tanpa membeda-bedakan termasuk orang yang menderita kusta. 

Pengobatan Kusta dalam Pandangan Agama

Pada masa dulu fasilitas kesehatan dan tenaga medis belum secanggih sekarang. Menurut dr Iqbal dalam pandangan Islam usaha pengobatan penyakit kusta dilakukan secara rohani melalui doa. Penderita kusta harus berdoa memohon kesembuhan kepada Allah.

Sementara itu cara lain yang dilakukan adalah dengan rukiyah dan mengasingkan penderita kusta. Pada waktu itu obat kusta belum diketahui pasti. Nabi mengajarkan untuk berhati-hati dan menjaga kebersihan agar terhindar dari penyakit.

Dokter Iqbal juga menambahkan ketidaktahuan akan obat-obatan dan kekhawatiran tentang penularan penyakit kustalah yang melahirkan berbagai macam stigma terhadap penderita kusta. Kusta di masa lalu menjadi penyakit yang cukup ditakuti di Arab.

Dalam Alkitab, kusta juga diyakini sebagai kutukan dari Tuhan. Pendeta Corinus menjelaskan tidak ada fasilitas kesehatan, medis dan obat-obat saat itu, maka satu-satunya jalan adalah memohon ampun kepada Tuhan. Dalam kitab Perjanjian lama diceritakan berdoa memohon ampun merupakan bagian bagaimana penderita kusta menjalani “pengobatan”. 

Setelah permohonan dikabulkan dan penderita sembuh, dia harus menjalani persembahan kurban. Lalu dia akan datang ke imam, para imam inilah yang nanti memutuskan orang ini sudah sembuh atau belum. Setelah dinyatakan sembuh barulah dapat kembali ke masyarakat. 

Prinsip Agama Mengatasi Stigma Kusta

Mengingat kisah Yesus menyembuhkan orang sakit kusta dengan menjamah dan menjadikannya tahir (sembuh). Pendeta Corinus mengingatkan kita akan wujud cinta kasih yang ditunjukkan Yesus kepada semua orang termasuk yang menderita sakit kusta. Menghargai kemanusiaan menjadi prinsip utama dalam memperlakukan sesama manusia.

Kisah lain juga diceritakan oleh dokter Iqbal, ada seorang penderita kusta yang makan bersama Nabi dan istrinya Sayyidah Aisyah. Nabi ingin mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan orang atau mendiskriminasi penderita kusta.

Kedua kisah dalam agama Islam dan Kristen  ini menunjukan bahwa dalam pandangan agama, tidak ada diskriminasi apa pun terhadap manusia khususnya OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta). Prinsip yang harus dipegang oleh masyarakat dalam berinteraksi dengan OYPMK. 

Hapus Stigma Kusta, Pengobatan Teratur OYPMK Bisa Sembuh

Sebagai penderita kusta yang sudah sembuh. Pendeta Corinus membagikan kisahnya berjuang melawan kusta. Gejala awal yang dirasakan adalah mati rasa pada kaki. Pada tanggal 16 Juni 2016  dia memeriksakan diri dan dinyatakan oleh dokter terinfeksi kusta. Sejak itu Bapak pendeta “dinobatkan” menjadi OYPMK.

Saat divonis kusta beliau merasa ketakutan, bukan pada penyakit kusta melainkan pada stigma yang akan diterima dari masyarakat. Khawatir tidak diterima dikeluarga dan dihindari di lingkungan jemaat. Didorong semangat untuk sembuh, beliau minum obat tanpa putus selama kurang lebih satu tahunan.

Saat pengecekan terakhir pada bulan Mei 2017 beliau dinyatakan sembuh dari kusta. Pendeta Corinus tidak menyesal pernah menjadi OYPMK, justru beliau menjadi alat bagi Tuhan untuk menolong penderita kusta. 

Kesembuhan penderita kusta menjadi tantangan tersendiri dalam menghadapi stigma saat kembali ke masyarakat.  Bagaimana caranya mendidik masyarakat agar tidak mendiskriminasi dan menstigmatisasi sesama manusia. Bapak Pendeta mengingatkan bahwa manusia diciptakan Tuhan serupa, segambar, lengkap dengan kemanusiaannya. 

live streaming YouTube Kusta dalam Perspektif Agama
Live streaming YouTube "Kusta dalam Perspektif Agama" bersama KBR dan NRL Indonesia

Tidak alasan dalam bergaul memberikan stigmatisasi. Jika dilakukan maka kita tidak menghargai ciptaan Allah. Sebagai penutup Bapak Pendeta mengakhiri dengan sebuah permenungan:

“Kekurangan bukan pilihan. Penyakit kusta bukan pilihan (tidak ada yang mau memilih sakit kusta), yang terpenting adalah menghargai ciptaan,” pungkas Bapak Pendeta di akhir sesi diskusi.

Sementara itu sebagai seorang dokter Iqbal membagikan pesan kepada masyarakat agar selalu menjaga kebersihan, mengkonsumsi makanan yang bergizi baik dan segera memeriksakan diri ke dokter jika merasakan gejala kusta. Kusta bukan penyakit kutukan dan bisa sembuh total.

Penutup

KBR bekerja sama dengan NRL Indonesia berharap diskusi semacam ini dapat membuka wawasan dan pandangan masyarakat tentang stigma kusta. Dengan menambah pengetahuan dari sumber yang terpercaya misalnya tokoh agama/paramedis niscaya bisa mengurangi stigma yang keliru tentang kusta.



klaverstory
klaverstory Hi, I am Dian

2 komentar untuk " Stigma Terhadap Kusta dalam Perspektif Agama"

  1. Aku sudah tahu kusta dan stigma pada penderitanya sejak dahulu. Tapo baru baca tulisan ini tahu, kalau di Kristen juga ada kisahnya.

    BalasHapus