Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Literasi Kusta, Menyibak Mitos dan Fakta

Hari-hari belakangan ini saya rajin sekali mengikuti webinar, entah yang diselenggarkan melalui aplikasi zoom atau Youtube Live. Selain menambah ilmu dan informasi kesempatan “berkumpul” meski hanya secara daring ternyata cukup ampuh untuk mengatasi kebosanan. 

Ya, Senin 13 September yang lalu, saya bersama dengan teman-teman blogger dari komunitas IIDN (Ibu Ibu Doyan Nulis) berpartisipasi dalam talkshow ruang publik KBR dengan NLR Indonesia yang bertajuk Gaung Kusta di Udara melalui YouTube Live.  

Pada pengantar talkkshow yang diselenggarkan dalam rangka hari Radio yang diperingati setiap tanggal 11 September, Rizal Wijaya, host KBR mengungkapkan pentingnya peran media dalam mengimbangi sebaran informasi di era digital ini dengan memberikan informasi yang benar tentang literasi kesehatan salah satunya kusta. Kusta? Serentetan pertanyaan kemudian memenuhi benak saya.

 Ada Apa dengan Kusta?

Live Youtube Gaung Kusta di Udara KBR - NLR Indonesia

Dokter Febrina Sugianto, Junior Technical Advisor NLR Indonesia, sebagai narasumber menyatakan  ada sekitar 16.700 penderita kusta di Indonesia di tahun 2020, angka ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai angka 17.439. 

Namun angka yang tersaji tentu saja tidak serta merta menjadi kabar baik mengingat di tahun 2020 terjadi pandemi Covid-19 sehingga kemungkinan skrining kasus tidak dilakukan maksimal dengan adanya keterbatasan kontak. Dari 32 propinsi di Indonesia 26 propinsi sudah tereliminasi kusta, sementara propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat masih terdapat kasus kusta. 

Melihat masih banyaknya penderita kusta di Indonesia (peringkat ke 3 terbesar di dunia) KBR sebagai salah satu radio diharapkan bisa menjadi media untuk menyebarkan informasi dengan jangkauan yang lebih luas. Kegiatan literasi semacam ini sangat perlu dan penting untuk mengkikis hoax atau mitos yang selama ini beredar di masyarakat tentang penyakit kusta. 

Ada 2 faktor utama yang menjadi kendala terkait dengan penanganan kusta di Indonesia, yaitu:

  1. Faktor Geografis (diperlukan adanya effort yang cukup besar untuk menjangkau kantong-kantong kusta karena kondisi geografis dan akses)
  2. Stigma kusta (adanya stigma di masyarakat sehingga penderita kusta enggan berobat dan dikucilkan oleh masyarakat

Hoax Tentang Penyakit Kusta

Setidaknya ada 4 mitos/hoax yang dibahas dalam perbincangan kali ini. Hoax atau mitos yang beredar di masyarakat tentu saja membawa beberapa efek terhadap OYPMK (Orang Yang Pernah Mengidap Kusta).

1. Kusta adalah penyakit kutukan karena dosa yang dilakukan di masa lalu

Anggapan mendapat kutukan membuat penderita kusta tidak mencari solusi pengobatan sehingga gejalanya menjadi parah, terlambat mendapatkan pertolongan dan kasus kusta pun tidak terdeteksi. Ditambah lagi komunitas/lingkungan sekitar mengucilkan mereka karena dianggap membawa kesialan.

2. Kusta menular melalui sentuhan

OYPMK sebenarnya membutuhkan support dan dukungan dari orang-orang sekitar tetapi mitos tentang penularannya malah membuat para penderita dijauhi. Penularan kusta sendiri membutuhkan kontak erat dan waktu yang sangat lama. Sentuhan atau bertemu dengan penderita kusta tidak serta merta menularkannya.

 3. Kusta disebabkan oleh higenitas yang buruk/kurang menjaga kebersihan

Bakteri Mycrobacterium Leprae adalah penyebab kusta karena itu penyakit kusta sering disebut juga lepra.

4.Kusta tidak bisa disembuhkan

Ini adalah yang paling parah, karena si penderita akan putus asa dan merasa percuma jika berobat padahal kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan yang teratur.

Poin terpenting yang harus digarisbawahi adalah KUSTA BUKAN KUTUKAN, KUSTA BISA DISEMBUHKAN

NLR Indonesia, cari tahu tentang kusta di sini

Fakta dan Penyembuhan Penyakit Kusta

Kusta sendiri dikategorikan dalam dua jenis yaitu  Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Pada kulit yang terkena kusta baik PB maupun MB ditandai dengan adanya bercak (lesi) putih dan tidak dapat merasakan atau mati rasa. 

Jenis PB hanya mengganggu fungsi satu saraf sedangkan pada MB akan mempengaruhi lebih dari satu saraf. Lesi pada PB berjumlah kurang dari 5, berwarna lebih cerah dari kulit asli dan distribusinya simetris sedangkan lesi MB berjumlah lebih dari 5 dan distribusinya asimetris.

Nah kemudian bagaimana jika ditemukan gejala/tanda tersebut ditemukan pada seseorang? Pengobatan kusta saat ini terbilang dapat diakses dengan mudah, pada penderita atau orang yang merasakan gejalanya bisa menghubungi tenaga medis atau langsung dibawa ke Puskesmas terdekat. 

Pengobatan kusta dikenal dengan MDT (Multi Drugs Therapy). Biasanya penderita kusta harus mengkonsumsi obat-obatan sebanyak 1 blitzer (berisi berbagai macam obat) perbulan, yang membedakan untuk kategori PB harus diminum selama 6-8 bulan sedangkan MB berlangsung  12-18 bulan lamanya.

Obat ini harus diminum setiap hari dan tidak boleh terlewatkan. Dalam hal ini konsisten dan kepatuhan minum obat akan mempercepat proses penyembuhan. Karena jika pasien stop minum obat maka pengobatan bisa dibilang gagal dan harus diulang dari awal. Tentu saja ini akan tidak efektif dari segi waktu dan biaya. 

Setelah pasien minum obat dosis pertama, resiko penularannya sudah 20% saja, apalagi jika pasien benar-benar menyelesaikan pengobatannya. Pasien kusta bisa sembuh total, hanya saja saat dalam masa penyembuhan penderita kusta benar-benar membutuhkan support dari kelurga/teman dan lingkungan sekitar.

Literasi Kusta agar Terwujud Indonesia Bebas Kusta  

Website KBR untuk mendapatkan update seputar isu-isu terkini

Ibu Malika (Manajer Program dan Podcast KBR) pada kesembatan ini berbagi pikiran tentang peran media, radio sebagai salah satu media diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap isu kusta sehingga dengan pemahaman yang baik masyarakat tidak berperilaku diskriminatif.
 
Literasi semacam ini sangat dibutuhkan terutama untuk mendukung program utama NLR Indonesia dalam menangani kusta yaitu zero transmission (menghentikan transmisi), zero disability (mencegah kecacatan) dan zero exclusion (menurunkan stigma). Dengan dukungan dan kerjasama berbagai pihak dan masyarakat, harapannya tujuan utama program tersebut tercapai sehingga akan terwujud Indonesia bebas kusta di tahun mendatang.


klaverstory
klaverstory Hi, I am Dian

Posting Komentar untuk "Literasi Kusta, Menyibak Mitos dan Fakta"