Luang Prabang Dalam Kebersahajaan
Entah berapa lama kami sudah berjalan, tiba-tiba kami sudah berada di tempat yang sama dengan semalam. Rupanya di sepanjang jalan ini dijadikan street hawker, satu-satunya kawasan yang paling ramai di Luang Prabang. Berbeda sekali dengan keadaan di siang hari tidak ada aktivitas, hanya satu dua pedagang makanan / minuman yang mangkal di depan pintu masuk Museum Istana Kerajaan. Ya memang street hawker ini digelar di jalan depan museum setiap hari.
“Wah ada Miniso, mampir yuk mbak,” ujar Nita membuyarkan fokus saya. Dasar cewek ya, nggak bisa menahan diri dari belanja belanji. “Yuk, coba liat koleksinya sama apa enggak ya dengan yang di Indonesia,” kata saya penasaran sambil berjalan masuk ke arah toko. Walhasil kami memboyong topi kain dan beberapa make-up. “Hahaha kalau ini kan bisa diselipkan di antara baju-baju, aman lah dari over weight,” ujar saya setelah gagal membawa tas rotan tadi malam.
Mengalun di Luang Prabang
Kami sengaja tidak mau kalap saat berada di dalam Miniso, setelah menyelesaikan pembayaran kami segera keluar. Nyatanya tidak ada Minisso jilid 2 selama kami berada di Luang Prabang. Hari masih pagi kami hanya berjalan kaki, cuaca cerah dan lumayan panas. Untung saya tadi memutuskan untuk membeli topi jadi bisa langsung saya pakai.
Tidak ada langkah kaki yang terburu-buru, semuanya tenang dan mengalun di sini, masyarakatnya maupun para turis yang berlibur di sini. Lalu lintas di ruas jalan Luang Prabang juga tidak terlalu padat, tidak banyak kendaraan, sesekali melintas mobil, motor dan tuktuk yang merupakan moda transportasi umum kota ini.
Jalanan yang saat ini sedang saya lalui merupakan jalan utama sekaligus tempat para street hawker membuka lapaknya di sore hari. Tepatnya berada di depan Istana Negera Luang Prabang. Dari arah saya berjalan Museum Istana Kerajaan ada di sebelah kanan, sedangkan Poushi Hill di sebelah kiri
Bangunan yang disebut istana ini tidak seperti istana yang gemerlap nan gegap gempita. Tampak berwibawa meski dalam kebersahajaan dengan gaya arsitektur Lao. Sesuai sekali dengan ritme kota ini yang mengalun dalam ketenangan. Damai dan tenang makin tampak dengan dijumpainya banyak sekali Wat di setiap sudut jalan.
Langkah Kaki yang Tenang
Kami tidak ada tujuan hari itu, hanya ingin menikmati kota ini saja, berjalan kemana saja kaki ini melangkah. Sesekali kami terganggu dengan aroma sedap daging panggang, sampai akhirnya sudah tidak tahan lagi kami pun berhenti di salah satu lapak.
Si ibu sedang memanggang beberapa daging, daging yang sudah dibumbui itu ditusuk seperti sate. Pantesan aromanya wangi sekali, kami memesan satu tusuk sate babi dan ayam. Sate ayamnya lembut dan sangat juicy, dengan bumbu yang manis sedikit pedas. Cocok sekali untuk pemanasan sebelum menu makan siang. Sementara Nita terlihat lahap juga menyantap sate babinya.
Oiya buat teman-teman muslim, memang harus berhati-hati untuk memilih menu/resto di sini. Pastiin aja dengan bertanya ke penjualnya sebelum membeli makanan. Atau jika memang kesulitan komunikasi karena kendala bahasa, pilih aja yang veggie atau seafood, pasti aman.
Luang Prabang dan Sisi Modernitas
Langkah kaki kembali melanjutkan perjalanan. Aneh sekali ya kota ini, saya tidak menjumpai keberadaan mall atau pun bangunan modern yang menjulang. Toko. Satu-satunya jejak modernintas yang saya temukan di kota ini ya MInisso tadi. itupun tidak berada di mall seperti kebanyakan yang lain.
Sedangkan satu-satunya bangunan megah yang saya jumpai di sini ya Istana negara dan National Museum yang memiliki ornament emas di bagian fasad depannya. Bahkan hotel berbintang pun menempati bangunan khas Lao, kalaupun bertingkat hanya dua tingkat. Bukan bangunan tinggi pencakar langit.
Ada satu supermarket besar yang saya temukan, cukup lengkap dan sekali lagi satu-satunya yang ada di kota ini. lalu bagaimana dengan pasar? Saya tidak menemukan pasar seperti layaknya pasar Beringharjo, sebenarnya ada semacam “pasar tiban” di sinilah penduduk kota berbelanja sayur mayur dan kebutuhan pangan. Sayang sekali saya karena kesiangan, pasar sudah bubar ketika saya tiba di lokasi.
Penutup
Kota Luang Prabang tidak terlalu luas, berkeliling kota entah dengan sepeda atau berjalan kaki hanya membutuhkan waktu satu hari saja. Tapi entah kenapa tidak terasa membosankan, ya walaupun ke sana kemari ketemunya dia lagi dia lagi, itu lagi itu lagi.
Hampir sejauh kaki melangkah hanya ada bangunan berarsitektur khas Lao, semuanya. Saya tidak henti-hentinya mengagumi semua arsitektur bangunan di sini. Sampai akhirnya saya tersadar jika Luang Prabang ditetapkan menjadi Situs warisan Dunia oleh Unesco (UNESCO’s World Heritage Sites). Oalah pantesan
Posting Komentar untuk "Luang Prabang Dalam Kebersahajaan"